kayu mahoni ataupun kayu akasia. Harga kayu jati berdiameter kecil pun ketika ini sudah tergolong cukup mahal apalagi harga kayu jati yang berdiameter lebih besar, niscaya harganya akan sangat mahal.
Kerisauan para perajin mebel akan hal ini bukannya tanpa alasan, sebab, jikalau harga kayu jati semakin mahal, berarti biaya yang harus mereka keluarkan untuk membeli materi baku (kayu jati) juga mahal dan otomatis biaya produksi menjadi membengkak. Dan yang memprihatinkan, meskipun harga kayu jati (bahan baku) mahal tetapi para perajin mebel ini masih kesulitan untuk menaikkan harga jual barang yang diproduksinya. Seperti yang banyak dialami oleh para perajin mebel skala kecil atau rumahan di kawasan Pasuruan (Jawa Timur) dan Jepara (Jawa Tengah).
Penyebabnya tak lain yaitu super ketatnya persaingan. Sebagai informasi saja, baik di pasuruan maupun di jepara, perajin mebel tidak hanya ada 1 atau 2 orang saja, melainkan sangat banyak bahkan ada ratusan atau lebih jumlah perajin mebel di dua kawasan itu. Kaprikornus mereka harus saling berkompetisi untuk merebut pasar semoga dapat tetap eksis. Dan fatalnya, persaingan yang mereka lakukan yaitu banting harga yaitu memperlihatkan barangnya dengan harga murah semoga pasar (pembeli) tertarik untuk membelinya (istilahnya murah-murahan harga antar perajin).
Pertanyaannya yaitu bagaimana bisa, dengan mahalnya harga materi baku (kayu jati), barang yang diproduksi harus tetap dijual dengan harga murah?
Jawabannya yaitu tentu saja tidak dapat dan tidak mungkin, tetapi itulah keadaannya dan para perajin mebel itu dituntut harus dapat menyiasatinya semoga usahanya terus berjalan, atau kalau tidak, mereka dapat gulung tikar alias bangkrut.
Lalu, bagaimanakah para perajin mebel tersebut menyiasati mahalnya materi baku (kayu jati)?
Dalam rangka mempertahankan eksistensi usahanya, banyak diantara para perajin mebel yang banting setir ke materi baku alternatif atau materi baku pengganti. Kalau pada awalnya mereka memakai materi baku berupa kayu jati, sekarang banyak diantara mereka yang beralih memakai jenis kayu pertukangan lainnya yang harganya lebih murah dan persediaannya masih melimpah ibarat kayu mahoni, kayu akasia, kayu mangir, kayu ketangi, kayu bayur dll. Selain itu, penggunaan materi baku dari kayu olahan ibarat triplek atau multiplek juga lazim mereka gunakan untuk menyiasati mahalnya harga kayu jati.
Solusi yang kedua yang biasa digunakan oleh para perajin mebel untuk menyiasati mahalnya harga kayu jati yaitu dengan cara merubah ukuran tebal kayu yang digunakan. Misal dalam pembuatan sebuah pintu, jikalau biasanya sebuah pintu dibentuk dengan memakai papan kayu dengan tebal 4 cm, sekarang para perajin mebel banyak yang menyiasatinya dengan cara, papan kayu yang tebal 4 cm hanya digunakan pada cuilan bingkai (slimar) pintu, sedangkan cuilan isi (isen) pintu memakai kayu dengan ketebalan 2,5 sampai 3 cm saja. Jadi, dengan demikian jumlah materi baku yang digunakan untuk menciptakan pintu menjadi lebih sedikit daripada biasanya dan tentunya biaya produksi dapat menjadi lebih murah. Dan yang terpenting yaitu meskipun hasil produksinya dijual dengan harga lebih murah dari biasanya, tapi para perajin mebel tidak akan rugi dan usahanya tetap berjalan.
0 Response to "Menyiasati Mahalnya Harga Kayu Jati"
Posting Komentar